City car Honda Jazz berwarna merah memasuki pekarangan luas sebuah rumah bernomor enam. Rumput beludru pendek terawat rapi, serta beberapa tanaman hias tersusun rapi di seluruh pekarangan rumah itu. Seorang tua bertopi hitam dan memakai kaos kusam serta celana kutung selutut sedang menyiram tanaman-tanaman hias tersebut.
Rumah mewah dua lantai bercatkan warna abu-abu berdiri mewah tepat di tengah-tengah pekarangan luas tadi. Jendela-jendela besarnya mulai tertutup, seiring dengan langit mulai berwarna jingga. Rumah sebesar dan seluas itu, hanya dihuni oleh sepasang suami-istri yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing, dan seorang anak tunggal. Kamar rumah yang banyak malah diisi oleh pembantu dan pengurus rumah yang hitungannya terbilang banyak.
Dan terkadang, beberapa keponakan mereka datang untuk meramaikan rumah itu.
Reza menarik rem tangan mobilnya begitu dia memarkirkan mobilnya dengan rapi. Baru saja dia membuka pintu, belum beranjak dari jok mobilnya, seorang anak laki-laki yang tingginya hampir-hampir setara Reza mendatanginya.
“Baru pulang jam setengah enam sore, Kak?”
Reza tidak menjawab. Hanya berdengus dan menghantamkan kepala belakangnya ke sandaran jok. Ia memejamkan mata dan menghirup napas.
“Jadi panitia pun capek juga ya, Kak? Gimana aku tahun depan?”
Tanpa sadar Reza tertawa kecil mendengar kalimat tersebut. Dia mengangkat bahunya, lalu bangkit dari jok mobil dan meninggalkan Reyhan, sepupunya yang masih kelas tiga SMP itu.
“Hei, Kak! Tunggu!” Reyhan mengejar Reza yang sudah masuk ke dalam rumah. Reza tetap berjalan, malah mempercepat langkahnya. Saat ini, yang ada di pikirannya hanyalah bath tub yang ada di kamar mandi di kamarnya. Ada sesuatu yang ingin dia renungkan.
Maka saat dia sudah mencapai kamarnya, dia menutup lalu mengunci pintu kamarnya, sementara Reyhan mengetuk-ngetuk pintu dan memanggil namanya dengan kesal.
Reza mencampak asal kunci mobilnya ke tempat tidurnya yang besar. Tangan kanannya menarik ikatan dasinya, mencampak asal ke kasur lagi. Dengan cepat dia membuka seragam sekolahnya, kemudian masuk ke dalam kamar mandi hanya dengan kaos oblong putih dan celana boxer hitam sambil menenteng handuk di pundaknya.
Reza berjalan ke pinggiran bath tub dan memutar keran air hangat. Dia berjalan lagi ke depan cermin dan melihat wajahnya.
Putih. Kulitnya putih. Banyak orang berkomentar, cowok-cowok berkulit putih sering lemah. Dan dia—baginya—mungkin benar. Dia selalu berlindung dengan cowok berkulit kuning langsat dan bermata coklat cerah itu.
Dipa Negara.
Nama itu. Anak itu. Kenapa dia yang bisa membuat nyaman?
Reza menanggalkan kaos oblong dan celana boxernya. Hanya bercelana dalam, dia masuk ke dalam bath tub yang sudah berisi penuh.
Sejenak di dalam air yang masih hangat, dia tersenyum puas akan tubuhnya. Dia sudah melupakan judging orang-orang tentang cowok berkulit putih. Dia puas dengan kulitnya yang putih, terjaga dan mulus tanpa bulu-bulu yang kasar dan panjang tumbuh di tangan ataupun kakinya. Otot bisepnya yang tidak terlalu berisi, tapi dia bangga dengan itu. Wajahnya yang kata sebagian temannya masih cukup baby face.
Dan kata sebagian temannya yang lain, dia memenuhi syarat dan layak untuk pacaran dengan cewek-cewek cantik yang hitungannya sepuluh persen dalam setiap angkatan di sekolahnya. Bahkan ada yang menyarankan untuk pacaran lebih dari satu karena mereka yakin cewek tak akan tega merusak sedikit pun ketampanan yang dimilikinya meskipun cewek itu tahu ia telah dikhianati.
Tapi, sampai sekarang tak ada satu cewek pun yang mencuri perhatiannya. Waktu-waktunya ia habiskan untuk belajar, membaca buku, menonton film, mendengarkan musik, bermain game, atau hang out dengan Dipa.
Dengan Dipa…
Di antara semua rutinitas yang terlintas di pikirannya tadi, hang out dengan Dipa terasa yang paling menyenangkan. Ke mall, Gramedia, kafe, restoran, atau beberapa ruang terbuka hijau. Bersama teman-teman lain (Irul, Ata, Yulli dan Tika) atau bahkan hanya berdua dengan Dipa.
Pertanyaan masih bersarang di pikirannya.
Apa arti Dipa untukku?
***
“Pelit ya, Kak!” kata Reyhan dingin saat Reza turun dari kamarnya.
“Ha ha ha…” Reza tertawa kecil. “gomen1)…”
Reyhan melengkungkan bibirnya, menyandarkan badannya ke sandaran kursi makan dan melipat tangannya di dada.
“Ngomong-ngomong,” kata Reyhan setelah hening cukup lama, “kenapa Om dan Tante belum pulang?”
“Er… soal itu…” Reza terlihat bingung sendiri. Dia melihat ke arloji yang ia pakai di tangan kirinya. Sudah jam 8.25 malam. Tidak seperti biasanya, batin Reza. Biasanya mereka sudah pulang pukul 7.30 malam.
Tapi, tidak ada yang Reza khawatirkan. Dia sendiri sudah terbiasa dengan rutinitas orang tuanya yang pergi pagi pulang malam. Malah belakangan ini rutinitas orang tuanya semakin parah. Tidak ada lagi makan malam bersama sejak terakhir kali di malam pembagian rapor sebulan yang lalu.
Reza bangkit dari kursi dan berjalan menuju kulkas. Dia mengeluarkan sekaleng minuman soda dari dalamnya.
“Kalau kau lapar, kau telepon saja delivery. Nanti Kakak yang bayarin.”
“Eh? Bukannya kita makan malam sama Om dan Tante, Kak?” tanya Reyhan.
Reza menarik napas.
“Enggak. Mereka kayaknya gak pulang.”
“… BUKAN HARUS SEPERTI INI…”
“TAPI KAU YANG MEMULAI…”
“AKU TIDAK MEMULAI! KAMU TERLALU BERLEBIHAN UNTUK MENILAI ORANG LAIN…”
“KAU SELALU PERCAYA APAPUN…”
Reza mengerutkan dahi dan langsung tahu apa yang terjadi. Mereka rebut. Lagi.
“Reyhan, masuk ke kamarmu tanpa dilihat mereka.”
“Om dan Tante kenapa, Kak?”
“Sekarang!” Reza berdiri dengan wajah tegang dan tangan yang menunjuk ke arah tangga. Reyhan tak perlu diberi tahu lagi, dia bangkit dari kursi dan bergegas berlari ke tangga. Sejenak dia berbalik dan melihat ke arah Reza yang tidak ia ragukan lagi menitikkan air matanya saat Reyhan naik ke atas.
Reza menghela napas, dan dia pikir dia harus ke atas, ke kamar juga. Biarkan saja mereka, orang tuanya, melanjutkan adu teriak mereka. Sudah terlalu biasa mereka adu teriak seperti ini.
Tidak ada harmonisasi di antara mereka, pikir Reza saat kakinya sudah menyentuh anak tangga pertama. Dia sendiri tidak pernah berpikir untuk menyayangi mereka sepenuhnya. Sayang sih, tapi tidak jika waktu yang mereka habiskan adalah untuk ribut. Malu, terutama jika beberapa pembantu yang memang khusus untuk tinggal merawat rumah mendengar keributan yang sudah sering ini.
“… Lalu? Kamu sendiri memperkerjakan pembantu baru yang masih berumur 20 tahun itu?”
Reza menghentikan langkahnya di tengah tangga.
“Jangan bawa pembantu itu. Dia tidak salah apa-apa…”
“Ha! Kamu sendiri membelanya! Semua pria sama saja!”
“Jangan menilaiku dengan penilaian yang umum…”
“Penilaian yang pantas untuk pria sepertimu!”
“CUKUP!”
Reza mendengar derap langkah masuk. Buru-buru ia menaiki tangga hingga ia mendengar suara pintu dibanting saat ia tiba di ujung tangga.
“I hate them…”
***
Itulah kenapa aku tidak pacaran. Aku benci di saat perempuan mulai mengeluarkan tingkah mengerikan. Apapun yang terlintas di pikirannya, hanyalah menjadi sebuah kesalahan, meskipun itu adalah kebenaran. Aku tidak membenci ibuku. Aku sangat menyayanginya. Tapi kenapa harus selalu bertengkar seperti ini? Aku tidak menyalahkan ayahku. Tidak ada yang salah di antara mereka. Yang salah, hanyalah… Tidak! Tidak ada yang salah!
“Kak Reza, udah siap?” Reyhan berteriak dari luar kamar Reza. Reza yang sedari tadi berdiam diri sambil melihat lekat sebuah bingkai foto besar yang tertempel di dinding, menoleh ke arah pintu. Dengan sekali helaan napas, dia memejamkan matanya. Bulu matanya yang menyatu kini basah dengan air mata.
“Satu menit!”
Meski sudah berusaha, tetap saja suara Reza yang bergetar tidak dapat disembunyikan.
Reza membalik badan sambil menghapus air mata yang menitik di pipinya. Biarlah foto ini menjadi saksi. Sebuah foto saat dia berumur lima tahun, dengan orang tuanya yang salah satu tangan mereka berangkulan, dan tangan lainnya memegang pundak Reza. Foto itu menjadi saksi bahwa bertahun-tahun yang lalu ada sebuah keluarga yang tidak ada keributan sedikit pun di dalamnya. Yang ada hanyalah keceriaan dan kebersamaan.
***
“Melamun, Za?”
Dengan lemah Reza melirik ke arah suara yang menyapanya. Dua orang anak cowok. Seorang di antaranya memakai kacamata frameless, berwajah oval dengan kumis yang mulai tumbuh halus. Seorang lagi berambutu acak-acakan, memakai earphone, dan tersenyum renyah.
“Hai, Irul. Hai, Ata.”
Irul menarik kursi kantin di hadapan Reza, sementara Ata membuka earphone di telinganya, kemudian sejenak menunduk dan memperhatikan wajah Reza yang tertunduk.
“Okay, Bung?” tanya Ata.
“Gak apa-apa, loh,” jawab Reza sambil mendorong wajah Ata menjauh. Ata hanya tertawa diperlakukan seperti itu.
“Sabar ya, Om. Dipa bentar lagi ke sini, kok,” kata Irul memberi tahu.
“Ke mana dia?”
“Ke perpustakaan. Entar ke sini bareng Tika dan Yulli juga.”
“Kangen sama Dipa, ya?” goda Ata.
“Apa coba aku kangen Dipa. Bego lo!”
Iya, aku kangen dia. Butuh dia, sekarang!
“Ngomong-ngomong,” Irul berbicara lagi. “Ada yang merasa kalo sekarang Yulli agak berubah?”
“Yulli?”
“Iya,” Irul menyandarkan badannya. “agak berubah.”
“Shinai2). Mau dapet mungkin,” kata Ata sambil ketawa.
Reza menghela napas lagi. Dia tidak mengharapkan ada pembicaraan lain yang bisa menjadi bahan pikiran tambahan di tengah kehidupan rumahnya sendiri juga dalam keadaan chaos. Belum lagi tentang perasaannya sendiri yang harus dipelajari lebih dalam.
“Minna3)… Gomen…”
Suara paling familiar dan menenangkan baru saja melintas di telinga Reza. Tidak salah lagi, wajah yang ia tunggu-tunggu akhirnya hadir juga. Wajah yang pasti bisa menenangkannya saat ini. Atau setidaknya, meredam pikiran-pikiran yang mengganggunya.
“Ah, dateng juga, nih. Udah ditungguin Reza, noh,” kata Ata tidak berhenti menggoda.
“Eh?” Dipa yang baru duduk di samping Reza memandang Ata dan Reza bergantian.
“I can kill you despite I used earphone cable, Ata!”
“Waduh! Dia ngambek!”
“Udah, ah! Jangan gangguin Reza. Kau ini kayak gak tau aja gimana Reza ngambek.” Dipa melipat tangannya di dada.
“Yulli mana, Dip?” tanya Irul.
“Yulli?” ulang Dipa. “Er… Tadi dia denganku di perpustakaan. Tapi, waktu aku udah keluar perpustakaan, dia menghilang.”
“Eh? Hilang?” ulang Ata. “Aneh.”
Reza menghela napas mendengar percakapan di hadapannya. Males, males, males! Dia tidak mau terlalu mendengar apa yang sedang mereka ceritakan. Dia tetap di tempat itu, untuk menyamankan hatinya, bersama teman-temannya.
Atau…
Bersama Dipa…
***
“Kayaknya kau banyak pikiran hari ini, eh?” Dipa menyudutkan Reza saat siswa-siswa lain berbaris untuk apel penutupan MOS berlangsung.
“Banyak pikiran?” ulang Reza tak percaya. Dia tertawa. Dipa tahu?
“Jangan bohong, loh,” kata Dipa dengan nada sedikit memaksa.
“Beneran, loh,” kata Reza sambil tersenyum. “Arigatou4).”
“Eh? Arigatou?”
“Iya. Makasih, udah perhatian ke aku.”
Tawa Dipa meledak. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian merangkul pundak Reza.
“Aku nebeng, ya? Mobilku udah dijemput kakakku tadi siang,” pinta Dipa.
“Nebeng?” ulang Reza. Dipa mengangguk sekali.
“Pantesan!” seru Reza. “Pantesan perhatian!”
“Huuu…!” Dipa mengubah rangkulannya menjadi kitingan yang cukup kuat. Mereka berdua tertawa meskipun saling berontak satu sama lain.
“Dip…” panggil Reza terengah-engah usai pergelutan mereka.
“Apa, Za?” sahut Dipa masih tertawa akibat tingkah mereka yang kekanak-kanakan.
Reza diam sejenak, berusaha berpikir. Mungkin ini mengejutkan, tapi tentu saja hal ini patut dicoba.
“Aku tahu mungkin ini pertama kalinya aku minta. Tapi… Malam ini malam Minggu, dan—dan aku lagi males di rumah.”
“Well?”
“Aku nginap di rumahmu?”
“Ha ha ha!” Dipa tertawa lepas lagi. “Kenapa sebegitu kali mintanya? Dengan senang hati aku mau, kok!”
“Arigatou…”
“Gak masalah,” jawab Dipa sambil tersenyum.
“Oh, ya. One more ask?”
“Nani5)?”
“Kau yang bawa mobil. Okay?”
“No problem!”
Dipa tersenyum lagi sambil menatap dalam ke mata Reza. Dia tahu, atau mungkin dia tahu, dua hal tadi pasti cukup menyenangkan bagi Reza.
Dia tahu, atau mungkin sangat tahu, Reza sedang butuh penghiburan dari masalah yang ia punyai saat ini.
1) Gomen: “Maaf!”/“I’m sorry.”
2) Shinai: “Gak tau.”/“I dunno.”
3) Minna: “Teman-teman.”/“Guys.”
4) Arigatou: “Terima kasih”/”Thanks”
5) Nani: “Apa?”/”What?”