“APA YANG KALIAN BUAT? TAK ADA SATU PUN PERLENGKAPAN KALIAN YANG BENAR? MANUSIA BODOH SEPERTI APA KALIAN INI?”
Suasana Ruang 3 di pagi itu benar-benar tidak terkendali. Pagi itu, saat hujan turun dengan derasnya di luar, adalah hari kedua MOS di SMA Nusa Bangsa. Lima orang senior yang bertanggung jawab atas ruang MOS bernama Sriwijaya itu berdiri dengan sangar di depan kelas. Dua di antaranya cewek, namun pandangan dan raut wajah mereka bengis tanpa aura kasih sayang sedikit pun yang biasanya selalu hadir pada setiap kaum hawa.
“SEMUA YANG KALIAN BUAT SALAH? APA TUJUAN KALIAN? MEMPERMALUKAN AKU DI SINI, SEBAGAI KETUA PENANGGUNG JAWAB KALIAN?”
Cowok paling tinggi dan tegap di antara mereka lima senior itu memajukan langkahnya dan memerhatikan sisi kanan dan kiri kelas secara bergantian. Mtugasnya terhenti sejenak melihat salah satu siswa yang berdiri dengan wajah memucat dan badan yang sepertinya gemetaran. ‘Lemah!’ dengusnya pelan. Tanpa belas kasihan, dia berpaling dan kembali menggemakan teriakannya.
Siswa itu masih berdiri. Badannya masih gemetar dan wajahnya semakin pucat. Topi kerucutnya mulai miring di atas kepalanya. Badge nama di dadanya bertuliskan “Reza Samantha (Reza)”.
Lima belas menit berlalu penuh dengan teriakan dan beberapa siswi yang mulai meneteskan air mata, keadaan mulai mereda di Ruang Sriwijaya. Ketua senior yang menanggungjawabi ruangan itu keluar semenit yang lalu, dengan melepaskan badge kepanitiaannya dari lehernya dan mencampakkannya begitu saja ke salah satu siswa yang berdiri paling dekat dengannya.
Dari semua perkataan kasar yang terlontar selama limabelas menit, tak ada satupun yang benar-benar tertangkap oleh telinga Reza. Dia tidak suka tekanan dan bentakan. Dua hal itu selalu ia hindari sebisa mungkin. Baginya, dua hal itu hanya menguras energi dan tidak berguna. Wajar bila dia menjadi fobia terhadap dua hal menjijikkan itu.
“Kau baik-baik saja, Reza?”
Reza menghela napas dan berpaling ke sisi kirinya. Dipisahkan oleh seorang siswi, seorang siswa lain bertanya kepadanya dengan wajah penuh kecemasan.
Reza tidak bersuara. Dia hanya mengangguk sekali.
“Kau yakin? Kau tidak mau ke UKS? Kau sangat pucat.”
“HEI, KAU DI SITU! HENTIKAN PERCAKAPAN KALIAN! BUKANNYA KALIAN DIPERINTAHKAN UNTUK MENUNDUKKAN KEPALA KALIAN DAN RENUNGKAN KESALAHAN YANG KALIAN BUAT!”
Teriakan salah satu senior itu mengejutkan Reza. Reza menundukkan kepalanya. Sebaliknya, siswa yang mengajak Reza bicara tidak langsung menundukkan kepalanya. Dia menatap senior yang membentaknya tadi, menilai senior itu dan kemudian menunduk sejenak. Selang beberapa detik kemudian, dia kembali menatap ke arah Reza dan tersenyum kepadanya. Reza berpaling sejenak dan melihat senyum itu.
Reza tidak membalas senyum itu. Tapi dia tahu, ada rasa nyaman saat dia melihat senyum itu.
Reza tahu saat itu, saat itu dia akan mendapatkan sahabat. Dipa Negara akan jadi sahabatnya.
***
“Masih pagi udah melamun.”
Reza mendongakkan kepalanya, melihat ke arah sumber suara yang menegurnya. Anak cewek dengan rambut lurus sepundak datang ke kursinya. Wajah cewek itu bulat, berkulit putih dan memakai rok hingga di bawah lututnya. Namanya Yulli.
Reza cuma menghela napas.
“Kok gak di ruangan?”
“Retoris.”
Yulli tertawa kecil mendengar jawaban dari Reza. Dia menarik kursi di hadapan Reza dan duduk di hadapan Reza.
“Gak terasa kan, udah setahun sejak tahun lalu,” kata Yulli sambil merapikan rambutnya.
“Setahun yang lalu, kita ada di posisi mereka, saat-saat kita jadi bulan-bulanan senior,” Yulli menghela nafas, “tapi waktu tetap saja waktu. Waktu tetap berlalu. Dan sekarang, inilah dia. Kita yang berkuasa.”
Reza memelototkan matanya dan memandang Yulli dengan penuh cela. Satu hal yang tidak disukai Reza terhadap beberapa temannya adalah dendam yang mereka punya akibat MOS. Sudah sejak sehari setelah MOS mereka selesai tahun lalu, beberapa dari mereka sudah berencana dan menimbang-nimbang hal apa yang akan mereka lakukan saat mereka menjadi senior seperti sekarang ini.
Bahkan dengan hinanya mereka rela untuk mengikuti kaderisasi OSIS (yang artinya mereka akan disiksa lagi) demi mendapatkan kesempatan untuk menjadi panitia MOS di tahun berikutnya.
Kaderisasi!
Reza teringat dengan kaderisasi yang dilakukan 24 jam penuh di akhir Oktober tahun lalu itu. Dari Sabtu siang tepat pukul satu, hingga sehari kemudian di pukul yang sama, di sebuah vila yang memang khusus disediakan kepala sekolah terdahulu. 24 jam penuh yang bagi Reza adalah buang-buang waktu paling sia-sia bagi hidupnya. Di samping dia masih tetap harus menguatkan dirinya atas cobaan mental yang pasti diterima.
Tapi kayaknya enggak terlalu buang-buang waktu. Tidak, karena keberuntungan menyelimutinya.
“Dipa Negara dari Divisi Hubungan Masyarakat, satu kamar dengan Reza Samantha dari Divisi Keilmuan. Lantai dua, kamar 29.”
Reza menoleh ke arah Dipa yang sudah melihatnya dari barisan yang lain. Samar-samar senyum Dipa terlihat jelas oleh Reza. Reza membalas senyum itu. Dia yakin ada sedikit penghiburan dari keputusannya yang terbilang ekstrim untuk mengikuti kaderisasi ini.
“Keberuntungan, eh?” komentar Dipa saat dia dan Reza memasuki kamar yang dimaksud.
“Sangat beruntung,” kata Reza yang tersenyum lepas.
“Orang baik selalu mendapatkan kebaikan,” kata Dipa yang membalas senyum Reza.
Hening sejenak saat mereka meletakkan masing-masing tas mereka di sudut kamar.
“Masih ada sepuluh menit sebelum kita kembali berkumpul,” kata Dipa sambil melihat arlojinya.
“Jadi, ceritakan alasanmu untuk ikut OSIS? Kupikir kau pasti menghindarinya karena ada kaderisasi ini?”
“Awalnya begitu,” jawab Reza. Matanya mengikuti gerak-gerik Dipa yang duduk di kasur.
“Tapi setelahku pikir-pikir lebih dalam, mungkin ada celah untuk merevolusi kebiadaban MOS ini, demi kebaikan di masa yang akan datang.”
“Intinya… Kau berpikir untuk merubah sistem senioritas ini?” Dipa menarik kesimpulan. Reza menganggukkan kepalanya.
“Apa kau pikir itu tidak akan sia-sia? Jika sistem ini dihilangkan, batas antara senior dan junior akan hilang. Akan timbul lunjakan sifat dari junior di masa yang akan datang!”
“Jadi, kau setuju dengan semua kebiadaban ini?” tanya Reza kecewa. Dipa, yang ia pikir sahabat yang selalu satu jalan pikiran dengannya, harus berpisah jalan dalam urusan bodoh seperti ini?
Dipa tersenyum kecil.
“Aku tahu ada jalan yang berbeda untuk membentuk harmonisasi antara junior dan senior. Aku ada di pihakmu, Reza.”
“Tapi aku takut atas keputusanmu untuk mengikuti ini. Seperti yang kau bilang, ini hanya kebiadaban. Lengkapnya, kebiadaban tak berdasar. Kaderisasi ini akan lebih kasar dan bengis dibanding MOS tiga bulan lalu. Aku takut… takut…”
Reza memandang tak percaya ke Dipa. Takut? Dipa takut?
“Takut terjadi apa-apa denganmu.”
“Denganku?” ulang Reza usai hening sejenak di antara mereka.
“Er…” Dipa berpikir keras.
Reza masih tak percaya dengan kalimat yang baru saja dicetuskan Dipa. Tidak, tidak ada yang aneh. Dipa mungkin hanya salah bicara.
***
“Emang gak ada rasa dendam sedikit pun ya, Za?” Yulli membuyarkan lamunan Reza lagi.
“Gak ada.”
“Sakit hati?”
“Ada, sih. Tapi sakit hati bukan alasan untuk balas dendam.”
“Tuh, denger kata Reza, Yul.”
Seseorang dari arah belakang Reza datang dan ikutan duduk di samping Reza. Dipa datang dan duduk di samping Reza.
“Aku gak dendam kok. Itu kan tuntutan profesi sebagai OSIS,” bantah Yulli.
“Dan alasan kau masuk OSIS untuk?”
Yulli tidak menjawab, hanya menatap wajah Dipa dengan dingin. Mulutnya melengkung saat dia menarik minumannya dari meja. Usai menyedot habis minumannya, dia bangkit dari kursi dan pergi.
“Kok gak di ruangan?” tanya Dipa.
“Males.” Reza melenguh. Gak ada kamu sih yang bisa nemenin.
“Perjuangan kita gagal, eh?” kata Dipa. Reza hanya diam saja. Perjuangannya untuk menhapuskan MOS (atau setidaknya mengubah MOS menjadi lebih manusiawi) telah gagal. Keputusannya untuk rela dibentak dan disiksa lagi saat kaderisasi tahun lalu sia-sia belaka. Percuma, seandainya dia tidak sekamar dan menghabiskan banyak waktu bersama Dipa.
“Kita juga jadi panitia kaderisasi, loh! Kau ikut?” tanya Dipa memecah keheningan.
“Er… Ikut gak, ya?”
“Kalo kau gak ikut, aku gak ada temen.” Dipa menyandarkan badannya di sandaran kursi. Reza menajamkan matanya, seperti biasanya saat dia sedang berpikir keras.
“Gak enak juga, sih. Di vila itu tanpa sahabat yang bener-bener bisa dipercaya. Yang bisa…”
“Oke. Oke. Aku ikut!” Reza memotong.
“Selalu mudah untuk dirayu,” goda Dipa sambil tertawa. Reza mendengus dan memukul pelan lengan atas Dipa.
“Ingat gak, waktu kita berdua harus bersihin toilet semua kamar di lantai dua?”
Reza hanya menganggukkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Dipa. Waktu itu dia benar-benar kehilangan kendali sehingga perlawanannya terhadap senior yang membentaknya menjadi berlebihan. Seluruh kesalahan saat itu adalah tanggung jawabnya, sampai akhirnya Dipa malah ikut terseret di dalam permasalahan itu.
“Aku bilang kalian berkumpul di aula ini tepat pukul tujuh pagi! Sekarang ini tujuh lewat tiga menit! Kau dihukum!”
“Aku hanya telat tiga menit, Kak!”
“Tetap saja itu telat!”
Tanpa disadari mereka berdua, Dipa yang keluar barisan menghampiri mereka.
“Jangan hukum dia, Kak! Dia telat karena aku terlalu lama di kamar mandi!”
Reza menaikkan alisnya. Tidak, tidak ada kesalahan Dipa di sini. Dia memang telat bangun, dan dengan bengalnya dia tidak menghiraukan Dipa yang berusaha membangunkannya. Sampai akhirnya dia terbangun karena perutnya yang mendadak sakit. Dengan baik hati, Dipa mau menunggunya. Tapi Reza gak mau. Reza sudah terlalu banyak menyusahkan Dipa. Dia memohon agar Dipa hadir terlebih dahulu di aula ketimbang dirinya.
“Jadi, seperti ini? Kau kuntet! Tonggek! Dan kau egois! Kau membiarkan temanmu dalam masalah…”
“Bukan seperti itu, Kak!” potong Reza dengan nada tinggi. “Semua ini salahku. Dan jangan sekali-sekali kau memanggilnya dengan kata-kata tidak beradab!”
Dipa sedikit terkejut dengan keberanian Reza memotong senior. Baru pertama kali dia melihat perlawanan seperti ini darinya.
“Emang kenapa kalau aku memanggilnya seperti itu?”
“Karena kau sendiri hanyalah cowok sok hebat dan sok benar. Kau pikir apa yang kau punya saat kau menjadi senior!”
Hening sejenak. Reza tidak menyadari sepatah kata pun yang terlontar dari mulutnya. Dipa memandangnya dengan tajam, antara terkejut dan kagum dengan keberanian Reza. Matanya yang coklat cerah menusuk ke dalam mata Reza yang coklat gelap.
“Kalian berdua…” senior itu bergetar hebat menahan emosinya. Tangannya teracung di atas, siap untuk memberikan pelajaran terbaik yang ia tahu. Hingga akhirnya dia sadar, kekerasan tidak diperbolehkan di acara ini. Jika dua juniornya ini mengadukannya, masa depannya akan terhenti di sini.
“Enyah dari depan wajahku, bersihkan seluruh kamar mandi yang ada di lantai kamar kalian!” bentaknya. “Artha! Bawa mereka ke lantai dua!”
Seorang senior lain menarik lengan mereka berdua dan mendorong begitu saja saat mereka tiba di tangga.
***
“Untungnya tak ada satupun kamar mandi yang menjijikkan, eh?” Dipa berkata sambil tersenyum. Reza tertawa lepas mendengar kalimat itu.
“Aku pikir mereka terlalu stres hingga tidak ada yang berpikiran untuk berlama-lama di kamar mandi,” balas Reza masih dengan wajah penuh tawa.
“Eh?” Dipa mengangkat alis, kemudian tertawa juga.
Menyenangkan saat kamu terlihat humoris seperti ini. Saat mendengar tawamu sedekat ini.
“Kalo dipikir-pikir, harusnya kau gak menjatuhkan dirimu seperti itu. Kau terlalu sering menjadi sok pahlawan saat aku terkena masalah,” kata Reza usai tawa mereka mereda.
“Sahabat saling tolong-menolong, kan? Gak ada seorang pun di dunia ini yang tega melihat sahabatnya harus terjebak dalam situasi yang tidak bisa dia handle sendirian.”
Reza terdiam, tidak tahu harus berkata apa untuk membalas kalimat Dipa. Tidak mungkin untuk berargumen lagi, dan meneruskan pembicaraan ini menjadi perdebatan yang keliatannya tidak penting. Toh, udah terjadi.
Tapi…
Terjebak dalam situasi yang tidak bisa dia handle sendirian…
Reza memandang kosong ke arah gelasnya yang sudah kosong. Dipa memang benar, dan selalu mengerti saat-saat di mana Reza mulai kehilangan kepercayaan diri atau terjebak keputusasaan saat dia berada dalam masalah. Di saat-saat seperti itulah, Dipa selalu muncul dan membawa pertolongan. Tidak peduli apapun bentuk masalah itu. Psikologi, mental, diplomasi, hingga sesuatu yang harus menggunakan sedikit kekerasan, Dipa selalu menawarkan (atau memang memaksa) pertolongan yang ingin dia berikan.
Heran. Reza sendiri sering heran dengan dirinya sendiri. Krisis kepercayaan diri (seperti yang dikatakan Dipa selama ini) selalu mengganggu kehidupannya. Baginya itu tidak sepenuhnya benar. Ini bukan masalah kepercayaan diri. Ini, ini seperti masalah mental yang rasanya tidak mampu berdiri sendiri, berharap selalu ada yang menopang dalam keadaan jauh ataupun dekat; semu ataupun nyata; ada ataupun tiada.
Dan Dipa seakan menjadi solusi yang Tuhan berikan kepadanya. Dipa, seorang yang tidaklah setinggi badannya, cenderung pendek dan memiliki badan sedikit berisi. Wajahnya runcing, alisnya sedikit tebal dan kulitnya kuning langsat. Rambutnya tidak terlalu panjang, selalu disisir tegak ke atas. Meski terbilang pendek, mentalnya setinggi langit.
Dan yang terpenting, matanya yang coklat cerah selalu menenangkan hati Reza.
Reza sendiri merasa sedikit malu dengan keadaannya. Dia anak tunggal yang kelihatannya seperti dimanja. Dia sendiri tidak merasa seperti itu. Badannya tinggi, kulitnya putih dan rambutnya selalu lebat dengan poni yang selalu menutupi dahinya. Perawakannya kurus, dan paling buruk baginya adalah mental yang terlalu lemah. Kecuali, saat Dipa sang sahabat ada untuk menopangnya.
Tapi, apakah sebatas sahabat???
***
“Seluruh panitia MOS diharapkan untuk berkumpul di lapangan untuk persiapan siswa baru mencari tandatangan,” seorang cowok yang memakai rompi almamater mendatangi kantin dan berbicara di dekat meja kasir. Dipa menangguk sekali ke arah Reza, kemudian mereka berdua bangkit dan berjalan meninggalkan kantin, diikuti oleh beberapa siswa lain di belakang mereka.